Sabtu, 30 Oktober 2010

Silakan klik artikel yang akan anda baca.....


Sosiologi Pendidikan
- Nilai Sosial, Etika Sosial, Konflik Sosial

Filsafat Pendidikan
- Hakikat Kehidupan
- Ibnu Rusyd

Paradigma Baru Pembelajaran
- Mind Map Accelerated Learning
- Mind Map

Metodologi Penelitian
- Teknik Pengumpulan Data

MP
- TQM Pendidikan

Karawang-Ku

........................ antosan nya...... nuju disusun.....................

Food Tech

..............sedang di up-date..................

My Book's Summary

My Islam

Islam is solution

SMPIT Mentari Ilmu Karawang

SMP Islam Terpadu Mentari Ilmu
Jl. Soka 25 Guro II Karawang
Email: mentariilmu@yahoo.com
Blog : http://mentariilmu.wordpress.com 


Lowongan Pengajar

Lembaga Pendidikan SMPIT Mentari Ilmu Karawang  membutuhkan tenaga pengajar (untuk tahun ajaran 2012-2013), semua bidang studi dengan kualifikasi sebagai berikut :

1.    Ikhwan/Akhwat usia maksimal 30 tahun
2.    S1/Akta I V
3.    Mampu membaca Al Qur’an dengan baik dan benar
4.    Menguasai bahasa Arab atau bahasa Inggris
5.    Hafal Al Qur’an minimal 5 juz (untuk guru dirosah) atau 2 juz (untuk guru non-dirosah)
6.    Menguasai komputer

Alamat surat:
Jl. Soka no. 25 Guro II Karawang 41315
Tlp. 0267 8453155
email : mentariilmu@yahoo.com



Kamis, 21 Oktober 2010

Hakikat Pendidikan

Di suatu Jum’at pagi ba’da Idul Fitri, bis merah yang kutumpangi memasuki Terminal Baranangsiang. Jadwal kuliah pukul 13.00, berarti tiga jam lagi. Waktu luang itu saya manfaatkan untuk bersilaturahmi dengan keluarga jauh di kota hujan ini, dengan perkiraan masih bisa tiba di kampus tepat waktu.

Namun kemacetan lalu lintas tidak dapat diprediksi. Saya tergopoh-gopoh masuk ruang kuliah. Dosen melirik tajam, maklum terlambat hampir tiga perempat jam. Akhirnya saya duduk dibelakang, padahal biasanya ada di deretan paling depan, sambil menarik nafas dan berusaha mulai menyiapkan perhatian menerima materi kuliah. Nampaknya dosen sedang menjelaskan konsep teori perencanaan pendidikan dan diselingi filsafat pendidikan.

Seorang teman berkomentar, “Bu, ngapain kita belajar teori-teori ini. Toh nanti ngga dipakai karena akhirnya teori tersebut digugurkan oleh teori lainnya. Kalaupun kita paham teori ini, belum tentu anak-anak jadi pinter. Lagian kalo mau, contoh dari Rasul sudah ada dan terbukti benar”. Sang teman ini terus berargumentasi.

Saya memasang senyum namun diam tak berkomentar, ada setuju dan tidak setuju dengan pernyataannya. Saya sih berbaik sangka saja. Pasti kurikulum Manajemen Pendidikan ini telah diperhitungkan dengan matang dan pasti materi ini merupakan sesuatu yang harus diketahui oleh mahasiswa. Dan lagi, semakin banyak pengetahuan, wawasan bertambah luas sehingga ketika menghadapi suatu permasalahan kita memiliki berbagai pendekatan untuk menyelesaikannya. (Namun sebetulnya, saya belum benar-benar ‘connect’ dengan situasi yang ada dan belum memahami penjelasan dosen).

Tiga jam perjalanan pulang, di atas bis saya termenung, mereview dan rewind semua yang terjadi hari itu, hingga pada perkataan teman saya tadi. Terngiang kembali pernyataannya, yang jika dikaji lebih mendalam maksudnya seperti ini, yang pertama, “Untuk apa kita mempelajari teori-teori perencanaan dan filsafat pendidikan, kalau akhirnya tidak dipakai?”. dan yang kedua, “Rasulullah telah mencontohkan bagaimana cara mendidik” Baru saya sadar mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan pertama dan sangat setuju dengan pernyataan kedua.

Manfaat mempelajari Filsafat
Tidak ada ruginya kita mempelajari suatu ilmu pengetahuan, karena ilmu itu bertujuan untuk membuat hidup lebih baik. Dengan filsafat kita akan tahu dasar segala sesuatu. Misalnya Aliran Fenomenologi-nya Edmund Husserl, memiliki program utama mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan, kembali kepada kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Ilmu pengetahuan bagi Husserl dapat mengantarkan pada pengalaman-pengalaman baru yang eksklusif tersendiri secara subjektif transendental.

Atau menurut Eksistensialisme dari Jean Paul Sartre yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

Benar pula pendapat Pragmatisme, William James, berdasarkan kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti guna, tindakan, atau perbuatan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya. Jadi, pengertian atau keputusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.

Aliran-aliran filsafat lain pun, saya yakin, berasal dari hasil pemikiran mendalam, dan dirasakan sebagian kebenarannya. Namun keterbatasan filsafat adalah semua pemikiran didasarkan pada rasio semata. Kemanfaatannya hanya dirasakan sepanjang hidup manusia di dunia dan dalam kurun masa tertentu. Sebagai umat beragama, tentunya kita percaya bahwa ada kehidupan abadi setelah kematian. Dan hal ini hanya dapat diterima oleh keyakinan, oleh hati (qolbun).

Inilah kekurangan, dimana para calon pendidik hanya dibekali pendapat-pendapat filosof barat, yang nota bene jauh dari agama dan cenderung sekuler. Ketika motivasi mendidik hanya didasarkan filsafat rasio, maka pendidikan tidak akan ’menyentuh’ ruhiah anak didik sehingga tidak mengherankan anak didik yang dihasilkan hanya cerdas secara intelektual.

(Dikemudian hari saya pernah bertanya kepada dosen filsafat pendidikan, mengapa para pendidik yang sebagian besar muslim dengan anak didik mayoritas muslim pula, tapi tidak dibekali dengan filsafat pendidikan Islam. Konsep-konsep ke-Islaman hanya diperoleh pada materi agama sehingga seolah-olah kiblat dan dasar filsafat pendidikan hanya ada di barat. Namun dosen saya tetap dengan pendapatnya bahwa konsep filsafat dan agama memiliki pendekatan yang berbeda, dan filsafat lebih dapat diterima secara universal.)

Padahal dengan menanamkan landasan bertidak pada tujuan hakiki, seolah-olah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan motivasi akhirat, insyaallah tujuan-tujuan duniawi akan tercapai.

Pendidik dan mendidik ala Rasulullah
Hakikat yang beranjak dari qolbun inilah yang harus ditumbuhkembangkan dalam diri seorang pendidik, sehingga membuahkan hasil pada dirinya sendiri serta anak didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga emosional dan spiritualnya.

Pendidik akan menyadari keutamaanya bahwa:
- mendidik adalah pengamalan ilmu yang berguna, sebagai satu dari tiga pahala yang tidak akan terputus meskipun telah meninggal
- pahala mendidik adalah laksana bonus pada multilevel marketing ketika anak didiknya mengamalkan ilmu yang diberikannya
- keteladanan harus benar-benar diterapkan karena Allah menyatakan ”Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri” (QS Al Baqarah 44)

Dengan demikian akan tercipta pendidik yang memiliki orientasi hakiki, yang mampu mengajak anak didik menuju orientasi hakiki pula. Keikhlasan dan tekad yang kuat untuk membina generasi, akan mampu menyadarkan anak didik bahwa:
- menuntut ilmu adalah ibadah
- menuntut ilmu adalah kewajiban sepanjang hayat, bagi semua orang
- menuntut ilmu memerlukan pengorbanan waktu, materi dan tenaga, yang harus dikejar hingga ke tempat jauh
Tentu saja konteks pemahaman hakikat menuntut ilmu ini disesuaikan dengan tingkat pemahaman peserta didik.

Bis mulai meninggalkan tol Karawang Barat ketika saya ber’azzam’: saya ingin mencapai tujuan hakiki dalam hidup ini, kebahagiaan dunia akhirat, karena saya ingin anak didik sayapun berorientasi sama. Saya harus memberi contoh yang baik, karena tanpa suri tauladan, kepatuhan anak didik merupakan kepatuhan semu belaka. Saya ingin menanamkan keimanan yang kuat, karena hanya dengan keimanan, ilmu pengetahuan apapun menjadi bermanfaat bagi umat manusia. Saya harus terus mengasah ESQ, agar menghasilkan ’produk’ yang juga cerdas emosional dan spiritualnya. Dan sederet keinginan lainnya terus berkecamuk dalam pikiran saya.

Tak terasa, bis memasuki Terminal Klari, nampak suami dan ketiga anakku telah menunggu. Ada perasaan bersalah terhadap mereka. Seharusnya diakhir pekan ini saya menghabiskan waktu dan bercengkrama di rumah. Saya berdoa, semoga pengorbanan mereka tidak sia-sia mengingat keinginan saya untuk memberikan kontribusi yang lebih baik pada generasi penerus di kota Karawang ini.

Karawang, Oktober 2008
EKA DEWI NURAENI
EKA DEWI NURAENI
Program Pasca Sarjana Universitas Pakuan
NPM: 072108192/Kel. A2 2008-2009

(Down load file Nilai Sosial, Etika Sosial dan Konflik Sosial, silakan klik disini)



Nilai Sosial, Etika Sosial dan Konflik Sosial
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan


Dulu, semasa saya masih duduk di bangku SD, jika mendengar kata ‘Indonesia’ maka yang terbayang adalah suatu negeri yang indah dan nyaman.  Berjalan di pinggiran hamparan sawah hijau, udara segar dan gemericik air disekitarnya.  Bertemu dengan penduduk yang bersahaja, ramah, murah senyum, bertegur sapa dengan siapapun yang ditemuinya. Gotong royong dan bekerja sama menjadi ciri khas dan budaya dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sekarang, tiga puluh tahun kemudian, ‘Indonesia’ yang saya temui adalah pabrik dan perumahan yang tak tertata, jalanan macet dan semerawut.  Atau membayangkan kota Jakarta dengan gedung-gedung menjulang tinggi, namun bila pandangan diturunkan sedikit, akan nampak gubuk-gubuk memadati bantaran sungai yang kotor sarat sampah.  Ketika menyusuri arah perkotaan, jalan yang dilewati begitu sempit karena trotoar yang ada digunakan para pedagang kaki lima.  Hampir di setiap sudut berkumpul sekelompok anak dengan membawa ukulele atau peralatan musik lain yang siap beraksi ketika ada angkutan kota yang kebetulan berhenti di dekatnya.  Sapu tangan menjadi perlengkapan penting karena beberapa kali hidung harus dilindungi dari asap kendaraan yang menghitam atau dari menyengatnya aroma tumpukan sampah.   Sedikit menjauhi perkotaan, nampak sawah yang mulai kekeringan.  Tak terdengar lagi germericik air karena sungai atau saluran irigasi nampak yang tak terawat, sebagian mulai di penuhi sampah, dan sebagian lagi berubah fungsi, diatasnya terdapat warung atau tambal ban.

Ketika berpapasan, tidak ada lagi keramahan dan saling menyapa. Yang ada adalah tidak saling mengacuhkan atau bahkan saling lirik dengan pandangan waswas dan curiga, karena yang terbayang adalah pemberitaan media massa: tawuran, perampokan, pembunuhan, bahkan mutilasi…Berbagai warna kekerasan dan konflik antar warga menjadi suguhan harian yang mau tidak mau harus diterima karena itu memang terjadi.  Belum lagi nasib para TKI dan martabat bangsa di tengah dunia internasional…

Ke mana, di mana, Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki harga diri, etika sosial, penuh toleransi dan keakraban dalam masyarakat mejemuk.???

Nilai dan Etika Sosial


Manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerja sama, lebih memilih untuk berkumpul membentuk kelompok masyarakat dibandingkan menyendiri.  Warga masyarakat saling berkomunikasi dan berinteraksi sosial.  Melalui interaksi tersebut akan terjalin hubungan antarindividu dan individu dengan kelompok serta hubungan antarkelompok, yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara pihak yang berinteraksi. Pada awalnya, kelompok masyarakat terbentuk secara geografis, karena perbedaan tempat tinggal.  Namun manusia adalah makhluk yang dinamis, kelompok-kelompok kecil tersebut berinteraksi membentuk kelompok masyarakat yang lebih besar. 
Pada hampir seluruh masyarakat, menurut Dorothi Lee, apa yang dianggap baik dipertahankan sebagai suatu nilai sosial.  Beberapa nilai sosial yang penting diantaranya adalah kelangsungan hidup individu dan kelompok, keadilan dan kebersamaan, saling menghargai, dan posisi yang sejajar.  Orientasi nilai tersebut sangat berbeda diantara berbagai kebudayaan dan sub budaya dalam masyarakat, yang dinyatakan dalam konsep, sikap atau harapan, sebagai bagian dari peranan sosial yang disandang di masyarakat.
Nilai sosial diterima, dikukuhkan dan dilembagakan dalam masyarakat dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya dalam bentuk norma sosial.  Nilai dan norma yang telah diinternalisasikan ke dalam diri individu akan menjadi kerangka referensi individu tersebut sebagai prinsip-prinsip etik.  Prinsip etik menjadi dasar dan orientasi dalam mengatasi masalah kehidupan, menjalin hubungan sosial dengan orang lain, sebagai motivator dalam memilih perilaku, tujuan dan gaya hidup serta sebagai alasan pembenaran terhadap keputusan tindakan yang diambil.
Dengan demikian, etika pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang befungsi sebagai norma atau kaidah tingkah laku dalam hubunganna dengan orang lain, sebagai espektasi atau apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya dan sebagai penuntun setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial.
Dalam interaksi sosial diperlukan adanya kontak sosial dan komunikasi.  Dalam kehidupan sehari-hari ditemui dua bentuk interaksi sosial, yaitu yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Bentuk interaksi sosial yang bersifat asosiatif adalah kerjasama (cooperative) dan akomodasi (accomodation), sedangkan yang termasuk ke dalam bentuk disosiatif yaitu persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan (conflict).  Adanya interaksi sosial menjadikan masyarakat kian dinamis yang dicirikan dengan adanya perubahan sosial, oleh karena itu tidak ada satu masyarakat pun yang statis. Terjadinya perubahan pada salah satu aspek kehidupan dapat menimbulkan perubahan pada aspek yang lainnya, baik yang menyangkut material maupun nonmaterial, sehingga sering menimbulkan disintegrasi yang diikuti dengan adanya reorganisasi untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan sosial.
Perubahan sosial dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk faktor internal yaitu yang berasal dari masyarakat itu sendiri, seperti: perubahan komposisi penduduk, konflik dan penemuan baru. Sedangkan faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar masyarakat, seperti: bencana alam, peperangan, intervensi dan budaya asing. Selain itu, terdapat pula faktor penghambat dan pendorong perubahan. Faktor penghambat yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan lambat, sikap tradisional, solidaritas kelompok tinggi, kepentingan, prasangka buruk pada pihak luar dan takut akibat dari perubahan. Faktor pendorong perubahan adalah pendidikan yang maju, sikap menghargai karya orang lain, toleransi dan sistem masyarakat terbuka.
Ketika nilai sosial dan etika sosial yang dijadikan tali pemersatu tidak dapat lagi mengakomodasi perubahan sosial yang cepat dan tidak direncanakan sering menimbulkan disintegrasi dalam berbagai bentuk konflik sosial.


Keterpurukan Etika Sosial


Berlangsungnya perubahan dapat terjadi secara lambat atau cepat, meliputi skala kecil dan besar, direncanakan dan tidak direncanakan.  Karena perubahan ini, sebagian masyarakat cenderung saling menyesuaikan diri sehingga membentuk kelompok-kelompok yang makin bersatu.   Tetapi kebersamaan dan kesatuan hanya dapat pada kelompok tertentu dalam kehidupan masyarakat, bukan keseluruhan anggota masyarakat. Atau karena dinamika sosial, sebagian masyarakat merasa tertekan dan bersatu membentuk komunitas khusus sebagai manifestasi dari ketidak puasan.  Toleransi dan persatuan kelompok memang meningkat namun cenderung mengabaikan kelompok lain dan mengabaikan etika sosial yang selama itu disepakati. 
Ketika nilai sosial mulai merosot, ketika etika sosial terpuruk, maka tali pemersatu mulai memudar dan kelompok masyarakat semakin sensitif dengan isyu dan rumor. Sedikit   pemicu dapat membuat konflik sosial antar kelompok ini terjadi, yang berbuntut pertikaian, tawuran massal, bahkan perang antar suku .

Konflik Sosial


Konflik sosial adalah pertentangan antaranggota atau antarkelompok dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh, yang disebabkan oleh adanya beberapa perbedaan, yaitu perbedaan individu, perbedaan pola budaya, perbedaan status sosial, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial.
Bagi masyarakat, terjadinya konflik memiliki beberapa fungsi yaitu: mendorong upaya akomodasi, menjadi media untuk meningkatkan solidaritas, memungkinkan terjalinnya kerja sama, meningkatkan peran individu dan mendorong terjadinya komunikasi. Konfik dan integrasi berjalan sebagai suatu siklus di masyarakat.  Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna menghasilkan konflik. Terdapat enam bentuk konflik sosial yaitu: konflik pribadi, konflik kelompok, konflik antar kelas, konflik rasial, konflik politik dan konflik budaya.
Berdasarkan tingkatannya, konflik sosial dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu konflik tingkat rendah, konflik tingkat menengah dan konflik tingkat tinggi. Agar supaya konflik tersebut tidak menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Cara yang biasa ditempuh untuk mengatasi konflik tersebut adalah melalui, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, paksaan dan detente.

Kronologis perubahan nilai, etika dan konflik sosial bangsa Indonesia


Kondisi yang masyarakat pada saat ini tidak lepas dari perjalanan sejarah yang dialami bangsa yang membentuk kepribadian.  Fase-fase perubahan sosial budaya bangsa Indonesia dianataranya adalah:

1.    Zaman purba

Pada masa ini tujuan utama bermasyarakat adalah untuk bertahan hidup.  Tiap kelompok memiliki aturan dan nilai-nilai sosial yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya.  Jika tidak ada aturan atau nilai yang harus ditaati, maka punahlah masyarakat (kelompok) itu. 
Kelompok masyarakat ketika itu belum mengenal kasta atau strata sosial, tidak ada kelas bangsawan atau orang biasa.  Hidup gotong royong dalam kelompok ini adalah ciri utamanya. Kepercayaan dinamisme dan animisme turut mewarnai nilai-nilai sosial yang berlaku.  Konflik sosial yang terjadi masih sederhana, sesuai dengan tingkat kebudayaan di kala itu.

2.   Zaman Hindu-Budha

Agama Hindu dan Budha masuk hampir bersamaan dan silih berganti menjadi agama utama dalam Negara.  Kedua agama ini berkembang berdampingan, bahkan membentuk sinkretisme antara keduanya.  Ajaran Shiwa Budha yang merupakan hasil sinkretisme berkembang pada abad 13 M.  Raja Kartanegera dan Adityawarman merupakan pemeluk aliran ini. 
NIlai sosial dan etika sosial yang berlaku sangat dipengaruhi oleh agama yang dianut.  Pada masa ini mulai dikenal perubahan sosial kemasyarakatan karena adanya kasta dan golongan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.  Jabatan dan pendidikan hanya diperuntukkan bagi kasta tertentu (brahmana dan ksatria).  Konflik sosial mulai kompleks, termasuk adanya konflik antar kelas.  Dengan adanya kasta, sebagaian pihak berada  diposisi menguasai dan punya kewenangan atas sementara yang lain  lebih tertindas. 



3.   Zaman Pengaruh Islam

Ajaran Islam dengan mudah diterima oleh seluruh kalangan karena mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta, golongan atau pangkat tertentu.  Nilai sosial bernuansa ke-Islaman mulai diterapkan, meskipun tidak benar-benar lepas dari pengaruh Hindu/Budha.  Hal ini terjadi karena para wali dalam mengajarkan Islam tidak secara serta merta merubah adat istiadat dan kebiasaan, melainkan dengan mensubtitusi tradisi yang ada dengan memasukkan unsur ke-Islaman.  Konflik budaya sedikit banyak terjadi selama proses interaksi ini.  Pendidikan berkembang dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tumbuh dengan pesat. 


4.   Zaman Penjajahan

Zaman penjajahan merupakan fase suram dalam sejarah nasional selama hampir tiga setengah abad.  Fase ini pula yang memberi dampak buruk pada mentalitas bangsa Indonesia.  Betapa tidak, di satu sisi bangsa Indonesia selalu dibuai dengan kesuburan dan keindahan alamnya, sementara para penjajah mengeksploitasi hasil alamnya.  Untaian zambrud di khatulistiwa, slogan yang terngiang, tanpa diiringi slogan bahwasanya semua itu akan musnah bila tidak dikelola dengan bijak.
Hampir semua kebijakannya tidak ada yang murni untuk membangun masyarakat Indonesia, namun semata-mata untuk melanggengkan kolonialismenya.  Sifat mementingkan diri sendiri selalu ditanamkan pada sebagian pihak, Sebagai contoh, feodalisme dimunculkan kembali, sebagai upaya mencari kaki tangan dalam melaksanakan program-programnya.  Warga pribumi berada di kelas paling bawah setelah bangsa Belanda dan keturunan Cina. Pendidikan dibuka hanya untuk memenuhi kebutuhan akan karyawan, dengan peserta hanya dari golongan priyayi. 
Konflik sosial yang muncul semakin beragam, dari konflik pribadi, kelompok, konflik antar kelas, konflik rasial, konflik politik dan konflik budaya.  Namun ada satu hal yang dapat mempersatukan bangsa sehingga konflik sosial yang ada tidak berkembang, yaitu perjuangan mengusir penjajahan dari tanah air.

5.   Zaman Orde Lama

Kemerdekaan belum bisa membebaskan bangsa Indonesia dari konflik-konflik sosial.  Banyak hal yang harus dipelajari dalam upaya menstabilkan bangsa yang baru bangun setelah tertidur selama empat abad.  Masuknya paham komunis yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa, membuat perpecahan semakin terasa. Konflik pribadi dan kelompok, konflik rasial serta konflik politik dan budaya mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.

6.   Zaman Orde Baru

Pada awalnya pemerintahan orde baru memberikan harapan dan semangat baru terhadap kesejahteraan masyarakat.  Konsep yang ditawarkan secara teoritis bagus dan sistematis dengan adanya program jangka pendek, menengah dan jangka panjang.  Namun pada pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan-pemympangan, baik yang dilakukun permerintah ataupun masyarakat itu sendiri.  Kemungkinan penyebabnya adalah:
a.    Aspek moral dan agama sangat dipentingkan dalam pembangunan dan pendidikan, namun kurang disertai suri tauladan dan contoh sehingga norma, etika dan agama tidak lebih dari sekedar teori dan jargon semata.  Agama hanya merupakan ritualitas yang tidak mendasari tindakan atau perbuatan ketika berkerja, berjualan, atau aktivitas lainnya.
b.    Azas pembangunan lima tahun pertama terutama adalah asas manfaat.
"Asas Manfaat, ialah bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, bagi peningkatan kesejahteraan Rakyat dan bagi pengembangan pribadi Warga Negara."
Akibat dari kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, ialah munculnya sikap hidup yang penting adalah bermanfaat. Ini menimbulkan sikap untuk mengejar "materi" yang sebanyak-banyaknya agar dapat bermanfaat dalam kehidupan yang sedang dialami. Pengaruh yang diperoleh adalah lebih mengutamakan peningkatan materiil daripada peningkatan spiritual. Sikap hidup sehari-hari juga akan lebih menonjolkan kelebihan penguasaan materi dan konsumeris. Wewenang dan kekuasaan Presiden berlebihan yang melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Kekeliruan dan Dampak buruknya baru disadari 25 tahun kemudian dan itu sudah terlambat karena telah menghasilkan paling tidak satu generasi penerus yang dijiwai oleh sikap mementingkan materi. Untuk merubah sikap dari materialis kembali ke jalan yang benar yaitu kerseimbangan antara materiil dengan spirituil dengan landasan agama yang kuat bukanlah hal yang mudah.

Aspek moral, ekonomi dan agama menjadi alasan terjadinya konflik sosial, demokrasi hanya sekedar basa-basi dan kebebasan yang ditawarkan merupakan kebebasan semu.  Namun dengan ketegasan dan kekuasaan penguasa Negara, konflik-konflik yang ada dapat ditekan atau ditutupi, bukan diselesaikan.

7.   Zaman reformasi

Terjadinya reformasi ibarat ledakan bom waktu yang sudah dipasang pada masa orde baru.  Bangsa Indonesia seolah-olah baru merdeka dari penguasa orde baru.  Sekali lagi, berubahnya kepemimpinan belum bisa menjadikan Negara Indonesia menjadi negera yang damai dan bermartabat.  Konflik-konflik sosial karena himpitan ekonomi, masalah sosial dan  SARA banyak diakhiri dengan kekerasan dan bentrokan.  Para pemimpin yang berkuasa masih merupakan hasil kaderisasi orde baru sehingga belum benar-benar berpihak kepada rakyat.  Martabat bangsa ditengah percaturan dunia internasional benar-benar terpuruk.
Kini, bangsa Indonesia menghadapi ujian berat, terutama karena kemerosotan mentalitas dan moralitas.   Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh, terbukti dalam ajang internasional yang memerlukan pemikiran dan otak seperti olimpiade MIPA atau catur, Indonesia masuk dalam deretan papan atas.  Namun mengapa anugerah kecerdasan ini tidak menjadikan bangsa Indonesia secara keselurahan menjadi bangsa yang cerdas? Pendidikan masyarakat semakin tinggi, lulusan sarjana bukan sesuatu yang istimewa lagi, namun mengapa bangsa ini tetap menjadi pengekspor TKI, bukannya pengekspor ekspatriat atau tenaga ahli?
Bangsa Indonesia bukan bangsa yang tidak mau mencari jalan keluar, tidak inovatif atau tidak kreatif.  Adanya daging gelondong, semangka suntik, daging daur ulang, tahu berformalin dll, yang merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia, bahkan mungkin dari masyarakat awam sangat kreatif dan inovatif dalam mencari peluang dan memanfaatkan apa yang ada.  Tapi ke arah mana kreativitas dan inovasi ini ditujukan? Ternyata, tanpa dilandasi nilai sosial, etika sosial dan sikap mental yang baik, inovasi dan kreasi justeru menghancurkan dan merugikan orang lain.







Apa yang harus dilakukan?

Indonesia harus bangkit.  Indonesia pernah menjadi Negara yang disegani di Asia, bahkan dunia.  Negeri ini memiliki banyak potensi sumber daya alam yang dapat dijadikan modal untuk maju.  Namun yang utama adalah bagaimana membina sumber daya manusia sebagai pengelola modal-modal sumber daya alam tadi. Dengan usaha yang keras dan cerdas, Insya Allah Indonesia akan kembali berjaya.   Beberapa point penting sebagai upaya mencari jalan keluar yang perlu dilakukan adalah:

 

1.  1. Kaderisasi

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif dalam mempersiapkan generasi mendatang yang tangguh, bersih dan benar-benar siap melakukan pembaharuan. Perilaku erat kaitannya dengan kepribadian, yang terbentuk melalui sosialisasi semenjak masa kanak-kanak sampai usai tua, sehingga menjadi ajang pembinaan kepribadian (personality building) bagi seseorang.
Agama harus menjadi landasan utama, karena hanya dengan petunjuk dan ridho Allah, bangsa Indonesia akan menjadi umat yang terbaik.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali-Imran 110)

1.    2. Pendidikan

Dengan pendidikan, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berkualitas, dan bermartabat.  Pendidikan inipun harus berlandaskan nilai-nilai agama dan suri teladan sehingga pribadi yang dihasilkan benar-benar pribadi yang utuh (insan kamil).  Allah menjanjikan derajat yang lebih tinggi bagi orang-orang mukmin yang terdidik dan berilmu pengetahuan.
 …… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilaah 11)

2.   3. Optimis

Terkadang kita pesimis apakah langkah kebaikan kecil yang kita lakukan; seperti berbaik sangka, peduli lingkungan, taat lalu lintas dll; dapat menyelesaikan persoalan-persoalan besar bangsa ini. Pesimistis pada akhirnya menimbulkan sikap apatis, tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat.  Perasaan itu harus dibuang jauh, karena sesuatu yang besar sebetulnya tersusun dari fragmen-fragmen kecil.  Mungkin apa yang kita lakukan tidak langsung nampak hasilnya, tapi insya Allah tetap bernilai kebaikan yang sangat dirasakan oleh yang membutuhkan.
Apa bila kebaikan kecil telah dilakukan, tidak ada salahnya mengaplikasikannya pada lingkup yang lebih luas.  Mungkin kita dapat memberi masukan untuk RT/RW sekitar, lingkungan sekolah atau dimanapun biasa beraktivitas.
 
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah 7)
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, (Al Insyirah 5)

3.   4. Sistem

Pemerintah berperan dalam menentukan arah dan landasan pembangunan pada setiap sektor.  Pemerintah dan masyarakat harus sepakat tentang kebijakan yang diambil.  Pemerintah harus menyadari kekeliruan pendahulu-pendahulunya.  Nilai religi diaplikasikan dalam kegiatan sehari-hari, kapanpun dan dimanapun.  Bukan sekedar di tempat-tempat ibadah atau hari-hari besar keagamaan.  Setiap langkah didasari niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula

 
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.(Ash-Shaff 4)

Ketika pendidikan sudah mampu ‘memanusiakan’ manusia, ketika kaderisasi sudah menghasilkan generasi berkualitas dan berkapasitas global, ketika masyarakat mengarungi kehidupan dengan penuh optimis,  ketika pemerintah bersih dan berwibawa…Di saat itulah bangsa Indonesia dapat tampil gagah di dunia Internasional.  Wallahu’alam bishawab.





Bangkitlah Indonesiaku, Harapan itu masih ada….

Karawang, Oktober 2008

 

 

Daftar Pustaka

1.    Landasan Kependidikan, Drs, Parsono dkk, Universitas Terbuka, 1999

2.    Etika Sosial Bangun Kepedulian Masyarakat pada Lingkungan, Sulung Prasetyo, www.terranet.or.id

3.    Perubahan,  Konflik Sosial dan Lingkungan, Pakde Sofa, 3 Februari 2008, CARI ILMU ONLINE BORNEO.htm  

4.    Dinamika Struktural Pendidikan dan Keterpurukan Etika Sosial, Drs. H. Rahmat, M.Pd, 28 September 2008, Jurnal Online, http://uin-suka.info/ejurnal

5.    Al-Quran Digital versi 2.1, Agustus 2004, http://www.alquran-digital.com

6.    Kaitan antara Filsafat, Etika dan Nilai-nilai dengan Profesi Pekerja Sosial,

Drs. Edward Ridwan, FISIP USU, 2003, USU digital library



Ingin membaca artikel dengan lengkap? Silakan klik disini)