Kamis, 21 Oktober 2010

Hakikat Pendidikan

Di suatu Jum’at pagi ba’da Idul Fitri, bis merah yang kutumpangi memasuki Terminal Baranangsiang. Jadwal kuliah pukul 13.00, berarti tiga jam lagi. Waktu luang itu saya manfaatkan untuk bersilaturahmi dengan keluarga jauh di kota hujan ini, dengan perkiraan masih bisa tiba di kampus tepat waktu.

Namun kemacetan lalu lintas tidak dapat diprediksi. Saya tergopoh-gopoh masuk ruang kuliah. Dosen melirik tajam, maklum terlambat hampir tiga perempat jam. Akhirnya saya duduk dibelakang, padahal biasanya ada di deretan paling depan, sambil menarik nafas dan berusaha mulai menyiapkan perhatian menerima materi kuliah. Nampaknya dosen sedang menjelaskan konsep teori perencanaan pendidikan dan diselingi filsafat pendidikan.

Seorang teman berkomentar, “Bu, ngapain kita belajar teori-teori ini. Toh nanti ngga dipakai karena akhirnya teori tersebut digugurkan oleh teori lainnya. Kalaupun kita paham teori ini, belum tentu anak-anak jadi pinter. Lagian kalo mau, contoh dari Rasul sudah ada dan terbukti benar”. Sang teman ini terus berargumentasi.

Saya memasang senyum namun diam tak berkomentar, ada setuju dan tidak setuju dengan pernyataannya. Saya sih berbaik sangka saja. Pasti kurikulum Manajemen Pendidikan ini telah diperhitungkan dengan matang dan pasti materi ini merupakan sesuatu yang harus diketahui oleh mahasiswa. Dan lagi, semakin banyak pengetahuan, wawasan bertambah luas sehingga ketika menghadapi suatu permasalahan kita memiliki berbagai pendekatan untuk menyelesaikannya. (Namun sebetulnya, saya belum benar-benar ‘connect’ dengan situasi yang ada dan belum memahami penjelasan dosen).

Tiga jam perjalanan pulang, di atas bis saya termenung, mereview dan rewind semua yang terjadi hari itu, hingga pada perkataan teman saya tadi. Terngiang kembali pernyataannya, yang jika dikaji lebih mendalam maksudnya seperti ini, yang pertama, “Untuk apa kita mempelajari teori-teori perencanaan dan filsafat pendidikan, kalau akhirnya tidak dipakai?”. dan yang kedua, “Rasulullah telah mencontohkan bagaimana cara mendidik” Baru saya sadar mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan pertama dan sangat setuju dengan pernyataan kedua.

Manfaat mempelajari Filsafat
Tidak ada ruginya kita mempelajari suatu ilmu pengetahuan, karena ilmu itu bertujuan untuk membuat hidup lebih baik. Dengan filsafat kita akan tahu dasar segala sesuatu. Misalnya Aliran Fenomenologi-nya Edmund Husserl, memiliki program utama mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan, kembali kepada kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Ilmu pengetahuan bagi Husserl dapat mengantarkan pada pengalaman-pengalaman baru yang eksklusif tersendiri secara subjektif transendental.

Atau menurut Eksistensialisme dari Jean Paul Sartre yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

Benar pula pendapat Pragmatisme, William James, berdasarkan kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti guna, tindakan, atau perbuatan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya. Jadi, pengertian atau keputusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.

Aliran-aliran filsafat lain pun, saya yakin, berasal dari hasil pemikiran mendalam, dan dirasakan sebagian kebenarannya. Namun keterbatasan filsafat adalah semua pemikiran didasarkan pada rasio semata. Kemanfaatannya hanya dirasakan sepanjang hidup manusia di dunia dan dalam kurun masa tertentu. Sebagai umat beragama, tentunya kita percaya bahwa ada kehidupan abadi setelah kematian. Dan hal ini hanya dapat diterima oleh keyakinan, oleh hati (qolbun).

Inilah kekurangan, dimana para calon pendidik hanya dibekali pendapat-pendapat filosof barat, yang nota bene jauh dari agama dan cenderung sekuler. Ketika motivasi mendidik hanya didasarkan filsafat rasio, maka pendidikan tidak akan ’menyentuh’ ruhiah anak didik sehingga tidak mengherankan anak didik yang dihasilkan hanya cerdas secara intelektual.

(Dikemudian hari saya pernah bertanya kepada dosen filsafat pendidikan, mengapa para pendidik yang sebagian besar muslim dengan anak didik mayoritas muslim pula, tapi tidak dibekali dengan filsafat pendidikan Islam. Konsep-konsep ke-Islaman hanya diperoleh pada materi agama sehingga seolah-olah kiblat dan dasar filsafat pendidikan hanya ada di barat. Namun dosen saya tetap dengan pendapatnya bahwa konsep filsafat dan agama memiliki pendekatan yang berbeda, dan filsafat lebih dapat diterima secara universal.)

Padahal dengan menanamkan landasan bertidak pada tujuan hakiki, seolah-olah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan motivasi akhirat, insyaallah tujuan-tujuan duniawi akan tercapai.

Pendidik dan mendidik ala Rasulullah
Hakikat yang beranjak dari qolbun inilah yang harus ditumbuhkembangkan dalam diri seorang pendidik, sehingga membuahkan hasil pada dirinya sendiri serta anak didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga emosional dan spiritualnya.

Pendidik akan menyadari keutamaanya bahwa:
- mendidik adalah pengamalan ilmu yang berguna, sebagai satu dari tiga pahala yang tidak akan terputus meskipun telah meninggal
- pahala mendidik adalah laksana bonus pada multilevel marketing ketika anak didiknya mengamalkan ilmu yang diberikannya
- keteladanan harus benar-benar diterapkan karena Allah menyatakan ”Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri” (QS Al Baqarah 44)

Dengan demikian akan tercipta pendidik yang memiliki orientasi hakiki, yang mampu mengajak anak didik menuju orientasi hakiki pula. Keikhlasan dan tekad yang kuat untuk membina generasi, akan mampu menyadarkan anak didik bahwa:
- menuntut ilmu adalah ibadah
- menuntut ilmu adalah kewajiban sepanjang hayat, bagi semua orang
- menuntut ilmu memerlukan pengorbanan waktu, materi dan tenaga, yang harus dikejar hingga ke tempat jauh
Tentu saja konteks pemahaman hakikat menuntut ilmu ini disesuaikan dengan tingkat pemahaman peserta didik.

Bis mulai meninggalkan tol Karawang Barat ketika saya ber’azzam’: saya ingin mencapai tujuan hakiki dalam hidup ini, kebahagiaan dunia akhirat, karena saya ingin anak didik sayapun berorientasi sama. Saya harus memberi contoh yang baik, karena tanpa suri tauladan, kepatuhan anak didik merupakan kepatuhan semu belaka. Saya ingin menanamkan keimanan yang kuat, karena hanya dengan keimanan, ilmu pengetahuan apapun menjadi bermanfaat bagi umat manusia. Saya harus terus mengasah ESQ, agar menghasilkan ’produk’ yang juga cerdas emosional dan spiritualnya. Dan sederet keinginan lainnya terus berkecamuk dalam pikiran saya.

Tak terasa, bis memasuki Terminal Klari, nampak suami dan ketiga anakku telah menunggu. Ada perasaan bersalah terhadap mereka. Seharusnya diakhir pekan ini saya menghabiskan waktu dan bercengkrama di rumah. Saya berdoa, semoga pengorbanan mereka tidak sia-sia mengingat keinginan saya untuk memberikan kontribusi yang lebih baik pada generasi penerus di kota Karawang ini.

Karawang, Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar